Tangis Megawati dan Pekikan Merdeka Saat Hasto “Pulang” ke PDI-P, Ada Apa?

Tangis Megawati dan Pekikan Merdeka Saat Hasto “Pulang” ke PDI-P, Ada Apa?

bebasketik.com – Panggung politik Indonesia kembali dipenuhi momen dramatis. Tangis Megawati dan pekikan merdeka yang terdengar saat Hasto Kristiyanto “pulang” ke PDI-P jadi sorotan publik. Momen itu bukan sekadar reuni kader dan ketua umum, tapi juga menjadi sinyal penting menjelang kontestasi politik berikutnya. Kembali hadirnya Hasto ke tengah-tengah internal partai bukan tanpa makna, dan reaksi Megawati menunjukkan betapa emosionalnya peristiwa itu bagi elite partai banteng tersebut.

Isu ini meledak di media sosial dan media arus utama karena muncul di tengah banyaknya tekanan politik, spekulasi soal arah koalisi, hingga pertarungan Pilkada yang makin dekat. Dalam artikel ini, kita akan bahas kronologi momen tersebut, makna simbolisnya, hingga dampaknya terhadap konfigurasi politik PDI-P dan peta kekuasaan nasional.

Momen Emosional di Kantor DPP PDI-P: Tangis Megawati dan Sambutan Merdeka

Momen dramatis terjadi di kantor DPP PDI-P di Jalan Diponegoro, Jakarta. Setelah sekian lama menghadapi tekanan politik dan hukum, Hasto Kristiyanto akhirnya kembali hadir secara publik di hadapan kader partai. Kedatangannya disambut dengan teriakan “Merdeka!” dari para kader, dan di tengah momen itu, Megawati Soekarnoputri tampak tak kuasa menahan air mata.

Keharuan ini tidak datang begitu saja. Hasto sebelumnya menjalani pemeriksaan intensif oleh KPK terkait kasus dugaan korupsi yang menyeret namanya dalam pusaran pengusutan. Selama masa itu, ia memilih untuk lebih banyak diam di ruang publik dan fokus pada proses hukum.

Tapi kembalinya Hasto ke panggung partai—di tengah suasana meriah dan semangat juang para kader—mengandung pesan kuat bahwa PDI-P tetap solid di bawah tekanan. Tangis Megawati dan pekikan merdeka menggambarkan emosi kolektif partai yang merasa kembali mendapatkan salah satu “anak ideologis” mereka.

Lebih dari sekadar simbol, momen itu juga menjadi pesan bahwa PDI-P siap melanjutkan perjuangan politiknya dengan barisan yang makin kompak, menjelang Pilkada serentak akhir tahun ini.

Hasto Kristiyanto dan Hubungannya yang Tak Terpisahkan dari PDI-P

Bagi kader maupun pengamat politik, nama Hasto Kristiyanto bukanlah nama asing. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh sentral di tubuh PDI-P dan menjadi Sekjen sejak 2015. Hasto bukan hanya birokrat partai, tapi juga sosok yang selama ini menjadi juru bicara ideologis Megawati dalam banyak isu.

Dalam beberapa tahun terakhir, Hasto dianggap sebagai garda depan yang membentengi partai dari berbagai tekanan eksternal. Ia kerap tampil lantang dalam forum-forum publik, media, hingga perdebatan politik nasional. Maka, ketika namanya mulai dikaitkan dengan persoalan hukum, banyak yang menilai itu sebagai bentuk serangan politik terhadap tubuh partai.

Kembalinya Hasto ke markas DPP PDI-P tak ubahnya seperti “pulang kampung.” Ia disambut seolah pahlawan yang baru kembali dari medan tempur. Di sisi lain, Megawati—yang sangat dikenal emosional terhadap kader-kader setianya—tampak sangat tersentuh.

Tentu, ini menambah narasi emosional bahwa PDI-P bukan hanya partai politik biasa, tapi juga keluarga besar dengan ikatan batin dan loyalitas yang dalam.

Dampak Politik: Konsolidasi Kekuatan Jelang Pilkada dan 2029

Kembalinya Hasto dan ekspresi tangis Megawati serta pekikan merdeka bukan momen biasa. Ia sarat makna strategis, apalagi jika dilihat dari kacamata kontestasi politik nasional. Tahun 2024 belum berakhir, dan PDI-P sedang bersiap menghadapi Pilkada serentak yang akan menentukan masa depan banyak kepala daerah.

Kehadiran kembali Hasto bisa jadi alat konsolidasi untuk menyatukan barisan. Ia dikenal sebagai “otak mesin partai” yang mampu memobilisasi kekuatan struktural dari tingkat DPP hingga akar rumput. Dengan adanya isu bahwa beberapa kader sempat goyah, kehadiran Hasto di panggung internal jadi simbol stabilitas.

Lebih jauh lagi, publik juga melihat ini sebagai sinyal bahwa Megawati masih memegang kendali penuh atas partai. Dengan usianya yang kian senior, banyak yang menanti siapa penerusnya—dan nama Hasto sempat masuk sebagai figur calon pemimpin masa depan partai, jika bukan untuk presiden, minimal sebagai elite partai tertinggi.

Tak hanya itu, gesture tangis Megawati di depan publik bisa jadi strategi politik yang menyentuh sisi emosional pemilih. Politik Indonesia sangat akrab dengan simbolisme, dan air mata seorang Megawati Soekarnoputri bukan hal yang bisa dianggap enteng dalam konteks komunikasi politik.

Respons Publik dan Reaksi Politik: Antara Dukungan dan Kecurigaan

Seperti biasa, momen emosional ini memecah opini publik. Di satu sisi, banyak kader dan simpatisan yang merasa terharu dan bangga menyaksikan Megawati menunjukkan sisi manusiawinya di depan umum. Mereka menilai ini sebagai tanda bahwa PDI-P tetap solid dan siap menghadapi tantangan.

Namun, di sisi lain, kritik tak terhindarkan. Beberapa pihak mempertanyakan motif di balik “drama politik” ini. Apakah ini bagian dari rekayasa komunikasi menjelang Pilkada? Apakah air mata itu tulus, atau bagian dari skenario pencitraan untuk memulihkan citra partai yang sempat goyah?

Tak sedikit juga yang menilai bahwa terlalu dini memposisikan Hasto sebagai simbol kebangkitan PDI-P tanpa menunggu proses hukum selesai. Isu ini jadi bumerang di kalangan masyarakat netral, apalagi di tengah kondisi publik yang semakin melek terhadap permainan politik simbolik.

Di luar pro dan kontra itu, satu hal yang pasti: momen ini sukses menjadi viral dan jadi trending topic di berbagai platform. PDI-P sekali lagi berhasil menguasai panggung, setidaknya dalam narasi politik nasional saat ini.