Program 50 Sekolah Rakyat: Pemerataan Akses Pendidikan di Indonesia Semakin Nyata

50

Pendahuluan

Pemerintah kembali meluncurkan inisiatif besar di sektor pendidikan lewat Program 50 Sekolah Rakyat tahun 2025. Tujuan utama dari program ini adalah membuka akses pendidikan berkualitas di daerah tertinggal, terluar, dan terpencil (3T), yang selama ini sulit dijangkau oleh fasilitas pendidikan formal.

Dengan mengadopsi konsep Sekolah Rakyat ala Ki Hajar Dewantara yang menekankan pembelajaran kontekstual dan partisipatif, program ini diharapkan menjadi solusi jangka panjang terhadap ketimpangan pendidikan yang masih tinggi di Indonesia.

Tapi sejauh mana program ini bisa berdampak nyata? Dan apa saja yang membedakan Sekolah Rakyat dengan sekolah formal konvensional? Artikel ini akan mengupas tuntas konsep, realisasi, tantangan, dan potensi transformatif dari Sekolah Rakyat era modern ini.


Apa Itu Sekolah Rakyat dan Mengapa 50 Lokasi?

Sekolah Rakyat adalah model pendidikan alternatif yang mengutamakan pendekatan komunitas, berbasis kebutuhan lokal, dan fleksibel dari sisi kurikulum serta metode belajar. Konsep ini sudah berkembang sejak zaman kolonial, dan kini dimodernisasi dengan pendekatan teknologi serta kurikulum kontekstual.

Dalam program 2025, pemerintah melalui Kemendikbudristek menetapkan pembangunan 50 Sekolah Rakyat di wilayah 3T dan daerah padat urban yang minim fasilitas pendidikan. Lokasinya dipilih berdasarkan pemetaan kebutuhan berdasarkan indikator:

  • Rasio anak usia sekolah yang tidak sekolah

  • Jarak akses ke sekolah negeri terdekat

  • Tingkat kemiskinan dan literasi digital

  • Usulan dari komunitas lokal dan pemerintah daerah

Fasilitas Sekolah Rakyat meliputi bangunan modular, konektivitas internet, tenaga pengajar lokal terlatih, serta kurikulum adaptif berbasis budaya dan kearifan lokal. Model ini diyakini mampu menjangkau kelompok yang selama ini tercecer dari sistem pendidikan nasional.


Kurikulum, Guru, dan Teknologi: Tiga Pilar Pendukung

Yang membedakan sekolah rakyat 50 Indonesia dari sekolah konvensional adalah pendekatan pendidikannya. Alih-alih terpaku pada target Ujian Nasional, Sekolah Rakyat mengutamakan:

  1. Kurikulum tematik berbasis kehidupan nyata: Anak-anak belajar tentang pertanian, lingkungan, seni lokal, dan literasi digital sesuai dengan konteks daerah masing-masing.

  2. Tenaga pengajar komunitas (guru rakyat): Guru berasal dari masyarakat setempat dan dilatih oleh fasilitator nasional. Mereka bukan hanya pendidik, tapi juga fasilitator dan pemimpin lokal.

  3. Pemanfaatan teknologi inklusif: Setiap sekolah dibekali tablet solar-powered, aplikasi pembelajaran daring luring, dan konektivitas satelit di lokasi ekstrem.

Model ini juga mendorong pembelajaran lintas usia. Anak usia 6–18 tahun bisa belajar bersama, termasuk ibu rumah tangga yang ingin kembali belajar. Sekolah ini lebih seperti ruang belajar komunitas dibanding institusi birokratis.

Selain itu, setiap sekolah memiliki bank data lokal, yang digunakan untuk menyusun program intervensi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di komunitas tersebut. Ini menjadikan sekolah sebagai pusat inovasi desa.


Tantangan Implementasi dan Potensi Jangka Panjang

Meski progresif, sekolah rakyat 50 Indonesia bukan tanpa tantangan. Beberapa isu krusial yang mencuat antara lain:

  • Ketersediaan SDM lokal: Tidak semua daerah memiliki kader guru yang siap dilatih. Butuh insentif khusus agar para pemuda mau kembali ke desa dan mengabdi.

  • Koordinasi dengan dinas pendidikan daerah: Masih banyak kepala daerah yang belum memahami konsep Sekolah Rakyat dan khawatir bertabrakan dengan sistem sekolah formal.

  • Keberlanjutan program pasca-pembangunan: Banyak program pendidikan gagal karena minim monitoring jangka panjang dan tidak ada dana operasional lanjutan.

Namun, potensi transformatifnya sangat besar. Dalam jangka menengah, sekolah rakyat bisa menjadi solusi pendidikan alternatif di daerah rawan bencana, daerah pascakonflik, atau komunitas adat yang menolak sistem pendidikan mainstream.

Lebih dari itu, Sekolah Rakyat bisa menjadi model pendidikan demokratis berbasis komunitas, di mana kurikulum tidak dibuat oleh pusat, tapi lahir dari kebutuhan lokal dan disusun bersama masyarakat.

Jika model ini berhasil, bukan tidak mungkin pemerintah memperluas cakupannya menjadi 500 Sekolah Rakyat pada 2030 sebagai bagian dari roadmap pendidikan inklusif nasional.


Referensi


Penutup: Sekolah Rakyat adalah Investasi Sosial Bukan Proyek Politik

Pemerataan pendidikan bukan hanya tentang membangun gedung dan menyuplai kurikulum. Ia tentang memastikan bahwa setiap anak, di mana pun ia lahir, punya kesempatan yang sama untuk tumbuh dan belajar sesuai potensinya.

Dengan sekolah rakyat 50 Indonesia, pemerintah memulai langkah awal yang revolusioner. Namun keberhasilan program ini hanya mungkin jika ada dukungan lintas sektor—dari negara, masyarakat, guru lokal, hingga dunia usaha.

Sekolah rakyat bukan sekadar model pendidikan baru. Ia adalah simbol keadilan sosial, semangat gotong royong, dan harapan bahwa pendidikan tidak harus seragam—yang penting relevan, inklusif, dan membebaskan.